Wednesday, 10 April 2013

PENGALAMAN HIDUP MANTAN PUNKER SEBAGAI PELAJARAN HIDUP UNTUK KITA



Sungguh sulit “lepas” dari belenggu lingkungan yang selama ini kita sangka memberi rasa nyaman. Padahal sesungguhnya lingkungan itu tidak selaras dengan etika social, bahkan tak seirama dengan nurani yang terdalam. Tapi, apa daya dominasi, sugesti lingkungan kadang menyesatkan akal sehat. Ujungnya, kita diseret, dipaksa menyerah ke arah menyimpang. Ini pulalah yang saya alami. Betapa sulit untuk “kembali” hidup di jalan yang sebenarnya menjadi fitrah bagi manusia.
            Kisah ini bermula ketika saya ingin meninggalkan komunitas yang disebut “Punk”. Komunitas yang selama ini diidentikan dengan kekumuhan, anti system hingga  kekerasan social lainnya. Saya putuskan untuk masuk bangku kuliah, dengan harapan biar “keluar” dari pengaruh teman-teman  SMA yang Punk. Tepatnya tahun 2003 saya keterima menjadi mahasiswa disalah satu universitas swasta di Solo. Tapi, mungkin belum beruntung. Di kampus saya justru kumpul lagi dengan teman baru, tapi dengan model yang sama. Yaitu, nge-Punk dengan dandanan yang “khas”. Bisa ditebak, hobi bolos, jam kuliah tidur, dan segala keganjilan perilaku pun kumat. Tiap hari diisi dengan ngumpul-ngumpul. Akhirnya, indeks prestasi terbaikku selama 3 semester hanya diangka 1,5 saja.

            Pada semester awal, saya diharuskan mengikuti kegiatan mentoring keislaman selama 2 semester. Materi yang disampaikan kakak Pembina saat itu pas dengan kondisi, saya ingin berubah. Saya sadar, bahwa saya salah pergaulan. Akhirnya, saya memberanikan diri mengaktualisasikan keislaman saya. Jiwa saya berontak, saya berusaha menjauhi teman-teman Punk. Awalnya begitu berat. Perasaan takut dicaci maki, dikucilkan , takut tidak mempunyai teman, dan hal-hal buruk lain pun muncul. Akhirnya benar. Saya diejek, dibilang sok alim, sudah jadi ustazd, dan lainnya.
            Waktu pun terus berjalan. Tekadku meninggalkan lingkungan yang membawa saya ke kebangkutan makin bulat. Aku tak peduli dengan cemoohan mereka. Suatu malam, saya mencari kakak pembina mentoring. Saya ingin katakan padanya bahwa saya ingin mencari teman yang baik. Akhirnya, saya diperkenalkan dengan teman-temannya. Teman-teman yang menurutku wajahnya bercahaya. Saya pun lengkapi dengan masuk berbagai organisasi keislaman, mulai di kampus, LSM, dan sederet organisasi yang lainnya. Hari-hariku kini diisi dengan banyak aktivitas “amal”. Dengan kondisi semacam itu, justru sifat sombong, bangga diri muncul.
            Allah Swt cemburu jika ada hambanya yang menyombongkan diri. Saya mendapatkan “teguran” dari Allah Swt berupa kecelakaan. Jatuh dari motor karena menyerempet wanita. Saya mengalami gegar otak, selama 3 hari saya amnesia dan setengah dari anggota badan saya “mati”. Dokter spesialis bedah syaraf memberikan satu pilihan berat bahwa kepalaku harus segera dibedah. Darah yang menggumpal di dalam otak harus segera disedot. Dokter bilang prosentase keberhasilan 50%, atau sebaliknya.
            Saya bersyukur, Allah Swt masih sayang dengan nyawa saya. Saya bisa sembuh total. Ingat kejadian itu, saya menyimpulkan pelajaran penting bahwa menjadi orang “besar” dan berpengaruh jangan sampai berbangga diri. Hanya Allah Swt yang berhak berbangga diri. Allah Swt marah jika hamba yang Dia ciptakan, merasa ingin menyamai-Nya. Cukuplah, bekas 32 jahitan di kepala menjadi pengingat sekaligus menjadi “pesan” bagi yang lain agar sisa hidup ini diisi dengan banyak beramal, berkarya dan bersyukur dengan hidayah-Nya…*   

No comments:

Post a Comment