Sungguh sulit “lepas”
dari belenggu lingkungan yang selama ini kita sangka memberi rasa nyaman.
Padahal sesungguhnya lingkungan itu tidak selaras dengan etika social, bahkan
tak seirama dengan nurani yang terdalam. Tapi, apa daya dominasi, sugesti lingkungan
kadang menyesatkan akal sehat. Ujungnya, kita diseret, dipaksa menyerah ke arah
menyimpang. Ini pulalah yang saya alami. Betapa sulit untuk “kembali” hidup di
jalan yang sebenarnya menjadi fitrah bagi manusia.
Kisah
ini bermula ketika saya ingin meninggalkan komunitas yang disebut “Punk”.
Komunitas yang selama ini diidentikan dengan kekumuhan, anti system hingga kekerasan social lainnya. Saya putuskan untuk
masuk bangku kuliah, dengan harapan biar “keluar” dari pengaruh
teman-teman SMA yang Punk. Tepatnya
tahun 2003 saya keterima menjadi mahasiswa disalah satu universitas swasta di
Solo. Tapi, mungkin belum beruntung. Di kampus saya justru kumpul lagi dengan
teman baru, tapi dengan model yang sama. Yaitu, nge-Punk dengan dandanan yang
“khas”. Bisa ditebak, hobi bolos, jam kuliah tidur, dan segala keganjilan
perilaku pun kumat. Tiap hari diisi dengan ngumpul-ngumpul. Akhirnya, indeks
prestasi terbaikku selama 3 semester hanya diangka 1,5 saja.
Pada
semester awal, saya diharuskan mengikuti kegiatan mentoring keislaman selama 2
semester. Materi yang disampaikan kakak Pembina saat itu pas dengan kondisi,
saya ingin berubah. Saya sadar, bahwa saya salah pergaulan. Akhirnya, saya
memberanikan diri mengaktualisasikan keislaman saya. Jiwa saya berontak, saya
berusaha menjauhi teman-teman Punk. Awalnya begitu berat. Perasaan takut dicaci
maki, dikucilkan , takut tidak mempunyai teman, dan hal-hal buruk lain pun
muncul. Akhirnya benar. Saya diejek, dibilang sok alim, sudah jadi ustazd, dan
lainnya.
Waktu
pun terus berjalan. Tekadku meninggalkan lingkungan yang membawa saya ke
kebangkutan makin bulat. Aku tak peduli dengan cemoohan mereka. Suatu malam,
saya mencari kakak pembina mentoring. Saya ingin katakan padanya bahwa saya
ingin mencari teman yang baik. Akhirnya, saya diperkenalkan dengan
teman-temannya. Teman-teman yang menurutku wajahnya bercahaya. Saya pun
lengkapi dengan masuk berbagai organisasi keislaman, mulai di kampus, LSM, dan
sederet organisasi yang lainnya. Hari-hariku kini diisi dengan banyak aktivitas
“amal”. Dengan kondisi semacam itu, justru sifat sombong, bangga diri muncul.
Allah
Swt cemburu jika ada hambanya yang menyombongkan diri. Saya mendapatkan
“teguran” dari Allah Swt berupa kecelakaan. Jatuh dari motor karena menyerempet
wanita. Saya mengalami gegar otak, selama 3 hari saya amnesia dan setengah dari
anggota badan saya “mati”. Dokter spesialis bedah syaraf memberikan satu
pilihan berat bahwa kepalaku harus segera dibedah. Darah yang menggumpal di
dalam otak harus segera disedot. Dokter bilang prosentase keberhasilan 50%,
atau sebaliknya.
Saya
bersyukur, Allah Swt masih sayang dengan nyawa saya. Saya bisa sembuh total.
Ingat kejadian itu, saya menyimpulkan pelajaran penting bahwa menjadi orang
“besar” dan berpengaruh jangan sampai berbangga diri. Hanya Allah Swt yang
berhak berbangga diri. Allah Swt marah jika hamba yang Dia ciptakan, merasa
ingin menyamai-Nya. Cukuplah, bekas 32 jahitan di kepala menjadi pengingat
sekaligus menjadi “pesan” bagi yang lain agar sisa hidup ini diisi dengan
banyak beramal, berkarya dan bersyukur dengan hidayah-Nya…*
No comments:
Post a Comment